Perempuan Pemangku Takdir
|
Oleh : Yuli Purwatiningsih (Anggota Panwascam Semanding Kabupaten Tuban)
tuban.bawaslu.go.id - Terlahir dari keluarga kaya raya, tak serta merta membuatku hidup nyaman bagai di surga. Justru sebaliknya. Aku malah ingin hidup biasa saja seperti kebanyakan remaja lain. Terlihat ironis dan satir namun begitulah kenyataannya.
Perkenalkan namaku Nadia Nathaniel Hilton. Mendengar nama belakang keluargaku, kalian pasti berpikir aku berasal dari keluarga Hilton yang punya hotel Hilton di seluruh dunia kan? Ya begitulah. Ayahku walau bukan pewaris hotel Hilton, namun memiliki kerajaan bisnis yang mendunia. Hampir setiap bulan dihabiskan waktunya berkeliling dari satu negara ke negara lainnya.
Sebuah kehidupan yang barangkali dirindukan dan diimpikan banyak orang. Bepergian ke luar negeri setiap waktu. Namun sebenarnya tidak sesederhana itu.
Sebagai the one and only alias putri satu-satunya di keluarga ini, aku merasa kesepian. Sangat kesepian. Hari-hariku sendiri, hanya berteman asisten rumah tangga di rumah besar di kawasan elit Bandung. Papa yang sibuk dan mama yang telah tiada membuatku haus kasih sayang kedua orang tua.
Eits, jangan berpikir aku adalah anak manja ya, karena manja tidak pernah ada dalam kamus hidupku. Sejak kecil papa mendidikku menjadi anak yang tidak gampang mengeluh dengan keadaan. Bayangkan saja, walaupun mobil di garasiku berjejer lima, tapi untuk berangkat ke sekolah papa hanya mengizinkanku naik angkutan umum, berjejalan dengan orang dan barang. Tak ada fasilitas mewah yang mengantarku ke sekolah.
Setiap pagi, aku bangun jam empat, selesai beribadah, langsung dilanjut dengan membuat sarapan dan menyiapkan bekal ke sekolah. Mandi lalu bersiap keluar rumah berjalan keluar kompleks dan berlarian mengejar bis atau angkutan kota menuju sekolah.
Kalian bertanya apa tugas asisten rumah tangga di rumahku? Mereka bertugas menjaga kebersihan rumah dan menemaniku selama papa pergi mengurus bisnisnya. Untuk sarapan dan hal domestik lain aku harus menyiapkan dan mengurusnya sendiri. Papa selalu bilang semua demi kepentinganku sendiri kelak. Entahlah aku tak paham. Yang aku paham, aku lelah menjadi anaknya dan aku ingin menjadi anak orang lain saja.
Aku bersekolah di sebuah sekolah swasta berbiaya mahal. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumahku. Disini kalau bukan anak orang kaya, pasti anak dengan otak encer yang mendapat beasiswa. Kalian pasti berpikir aku bersekolah disini karena papaku kaya raya kan? Salah besar. Aku bisa bersekolah disini justru karena aku termasuk siswi dengan isi otak diatas rata-rata. Awalnya aku bersekolah di salah satu SD negeri, namun berkat prestasi di salah satu lomba yang diadakan sekolah ini, aku mendapatkan beasiswa dan memutuskan pindah sekolah. Beasiswaku akan terus aku terima selama prestasiku tidak mengalami penurunan. Alhamdulillah sampai hampir di tahun ketiga di kelas delapan aku selalu menduduki ranking pertama dan banyak menyabet kejuaraan di berbagai lomba di luar sekolah. Kelak apabila prestasiku cemerlang, maka aku akan berhak menyabet beasiswa lanjutan ke sekolah menengah atas di sekolah ini.
Sebuah hidup yang sempurna kan menurut kalian? Tapi tidak bagiku. Asal kalian tahu, papaku selalu mewajibkanku membaca buku dalam berbagai bahasa setiap bulan. Dalam satu bulan setidaknya aku harus mengkhatamkan tiga buku dengan tebal halaman masing-masing diatas tiga ratus lembar. Dari buku yang dibaca, akan diuji seberapa paham aku terhadap isi buku tersebut. Sejak kecil aku memang sudah akrab dengan buku. Rumahku sudah seperti perpustakaan daerah bahkan bisa dibilang koleksinya lebih lengkap dari yang mereka punya. Papa sangat senang membaca dan aku terpaksa mengikuti kegemarannya. Pekerjaan papa yang berhubungan dengan banyak kolega asing menuntutnya mampu berkomunikasi dengan lancar dalam bahasa rekan bisnisnya juga memaksaku belajar bahasa asing sejak kecil. Mulai dari bahasa Inggris yang biasa sampai bahasa arab dan latin yang njelimet harus pula aku kuasai. Dan untuk yang satu ini papa rela merogoh kantongnya dalam-dalam karena pengajar bahasa asingku bukan orang Indonesia melainkan para penutur asli bahasa tersebut. Papa selalu mengatakan kalau ingin sukses belajar bahasa asing, haruslah langsung belajar dengan penutur aslinya. Karena pronouncation dan dialek akan mempengaruhi pengucapan.
Di tahun-tahun pertama belajar bahasa asing sangat membuatku stress. Bagaimana tidak, aku mulai bersentuhan dengan bahasa asing pertama yakni bahasa Inggris di usia tiga tahun. Setelahnya dilanjut dengan bahasa perancis di usia lima tahun, bahasa Jerman di usia tujuh tahun, bahasa Latin di usia Sembilan tahun dan bahasa Arab di usia Sebelas tahun. Dan sekarang saat usiaku hampir genap lima belas tahun aku sedang belajar bahasa negeri beruang putih yakni Rusia. Di setiap level penguasaan bahasa asing, papa selalu mendatangkan penguji tersumpah untuk memastikan bahwa aku benar-benar telah mampu dan menguasai bahasa tersebut dengan sangat-sangat lancar. Bisa kalian bayangkan menjadi aku sekarang? Belum lagi les renang, ballet, musik, masak, berkebun, menjahit dan les-les non akademik lain yang harus aku ikuti dan harus pula diuji oleh ahlinya.
Karena itulah aku sangat ingin menjadi anak dari keluarga biasa saja yang bisa merasakan dan menikmati hidup sebagai remaja kebanyakan. Namun keinginan hanyalah sebatas keinginan, karena memang aku bukan mereka dan mereka bukan aku.
Waktu berlalu, tak pernah ada waktu luang tersia-sia dalam hidupku. Aku lulus dan berhasil meraih gelar S3 doktor dalam bidang bisnis dalam waktu yang relatif singkat. Sebuah prestasi yang membuat papa bahagia di usianya yang menginjak enam puluh dua tahun. Saat itulah papa membuka rahasia yang selama ini dipendamnya. Rahasia yang merubah masa mudaku yang kuanggap tak berguna menjadi permata yang kilaunya kunikmati saat ini.
“ Nadia, sebagai satu-satunya putri Hilton, engkau adalah perempuan pemangku takdir keluarga Hilton. Sebagai pewaris kau harus siap melakukan semua hal. Pemangku takdir bertugas memastikan hal-hal terkait berjalannya bisnis keluarga ini berjalan. Semata-mata bukan menjaga kekayaan, namun memastikan para pekerja mendapat haknya karena ada keluarga yang menantikan hasil kerja keras mereka. Maafkan Papa yang telah memaksamu dewasa sebelum waktunya. Memaksamu tumbuh tanpa sentuhan kasih sayang mama. Papa tak menikah lagi, bukan karena tak ingin, namun lebih karena papa ingin mengabulkan permintaan mama yang menginginkanmu menjadi pemangku takdir yang baik dan mumpuni. Papa walau tampak tak pernah hadir dalam hidupmu, namun Papa selalu memastikan kau mendapat semua yang terbaik. Termasuk para pengajarmu. Pengalamanmu yang selalu mandiri di tengah fasilitas yang memadai akan membuatmu mampu berpikir kreatif menghadapi situasi yang seringkali tidak seperti yang kita inginkan. Kemampuan berbahasamu yang baik, akan menolongmu dalam berkomunikasi dengan rekan bisnis dan membangun jaringanmu sendiri. Percayalah Nak, Papa hanya ingin melakukan yang terbaik. Memberimu bekal untuk saat ini. Maafkan Papa yang telah menyusahkanmu sejak kecil.” Papa terisak saat menceritakan jawaban pertanyaanku selama ini. Ternyata hal yang memberatkan dan menjadi bebanku dulu, adalah sebuah perjalanan panjang meniti tangga kesuksesan menjadi perempuan mandiri yang tangguh, berhati baja namun lemah lembut di saat yang sama. Terima kasih Papa. Maafkan Nadia karena pernah berdoa meminta jadi anak orang lain. Sekarang Nadia hanya akan meminta menjadi anak Papa saja, menjadi perempuan pemangku takdir yang harus bekerja keras demi mewujudkan hidup yang bahagia.
*The last April in the middle of corona*